Empat tahun sudah kota Tangerang Selatan berdiri sebagai daerah otonom. Sebuah daerah yang berada di pinggiran ibu kota yang mencoba merangkak berkembang, baik secara ekonomi, social, politik dan budaya. Sepanjang perjalanan empat tahun ini, Tangerang Selatan berjalan biasa-biasa saja, tentu saja ini dibarengi dengan usaha-usaha pemerintah yang ingin merealisasikan good government. Berbicara demokrasi sepertinya belum sampai disini secara Komperhensif. Dimana kesenjangan masih berada dimana-mana. Jalan – jalan yang rusak, Kesejahteraan Umum, Disfungsi Pemerintah (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), yang paling parah adalah rakyat yang sakit yang tidak mampu berobat. Bukankah kesehatan yang menjadi jargon bu Wali Kota ini?, Sangat memilukan tampaknya. Ini berdampak pada hubungan antara pemerintah dengan masyarakat yang semakin merenggang dan tidak harmonis. Padahal pemerintah dan masyarakat haruslah menumbuhkan sinbiosis mutualisme secara social, Yang pada akhirnya masyarakatlah yang harus memikul beban ini semua. Pajak begitu besar, APBD begitu banyak. Ada yang tidak beres dengan ini semua. Demokrasi secara etimologi berartikan Kekuasaan Rakyat. Tapi pada kenyataannya ini tidak ubahnya seperti tirani. Kekuasaan rakyat yang terlihat jelas disini bersifat priodik (5 tahun sekali) yaitu pada pemilihan umum untuk memilih pemerintah dan wakil rakyat. Setelah itu yang terpililah yang berkuasa, yang terpilihlah yang enak, baik secara materil dan imateril. Mungkin itulah interpretasi yang tepat terhadap demokrasi secara factual dan empiris saat ini.
Demokrasi yang di gembor-gemborkan hanyalah isapan jempol belaka. Tidak terealisasi baik secara institusi (belum adanya POLRES dan Pengadilan Negeri) RSUD pun baru dibangun dengan pelayanan birokrasi yang sangat tidak ramah. Apalagi secara nilai-nilai (Transparansi, HAM, Toleransi, Majemuk, dll). Demokrasi masih berkutat pada permasalahan klasik, masalah-masalah akan kesadaran objektif. Mereka berteriak demokrasi tapi memotong lidah orang yang beraspirasi. Mereka berbicara demokrasi tapi perut rakyat belum diisi. Ini menjadi PR bagi kita semua yang memiliki kesadaran penuh akan esensi demokrasi itu sendiri. Ini menjadi kesempatan bagi kita untuk berbuat sesuatu. Karena tidak ada yang lebih puitis selain berbicara masalah kebenaran.
Oleh : JIBRIEL ROMLI
Demokrasi yang di gembor-gemborkan hanyalah isapan jempol belaka. Tidak terealisasi baik secara institusi (belum adanya POLRES dan Pengadilan Negeri) RSUD pun baru dibangun dengan pelayanan birokrasi yang sangat tidak ramah. Apalagi secara nilai-nilai (Transparansi, HAM, Toleransi, Majemuk, dll). Demokrasi masih berkutat pada permasalahan klasik, masalah-masalah akan kesadaran objektif. Mereka berteriak demokrasi tapi memotong lidah orang yang beraspirasi. Mereka berbicara demokrasi tapi perut rakyat belum diisi. Ini menjadi PR bagi kita semua yang memiliki kesadaran penuh akan esensi demokrasi itu sendiri. Ini menjadi kesempatan bagi kita untuk berbuat sesuatu. Karena tidak ada yang lebih puitis selain berbicara masalah kebenaran.
Oleh : JIBRIEL ROMLI